Tata cara, Jenis , Syarat-Syarat , Rukun, Waktu I’tikaf dan Hal yang membatalkan I’tikaf
I'tikaf dalam konteks ibadah dalam Islam ialah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Tuhan SWT dan bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga mutakif.
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.
Hukum I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama setuju bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali kalau seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.]
Iktikaf yang disyariatkan ada dua macam: iktikaf sunat dan wajib.
Iktikaf sunnat ialah iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan ridha Tuhan SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadan.
Iktikaf wajib ialah iktikaf yang dikarenakan bernazar (janji), seperti: "Kalau Tuhan SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka saya akan beriktikaf.
Waktu iktikaf
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol ialah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang tamat dari Ramadhan sampai wafatnya lalu isteri-isteri dia pun beri’tikaf sehabis kepergian beliau.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapat malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga gampang bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu
Syarat-syarat iktikaf
Orang yang beri'tikaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.Muslim
2.Niat
3.Baligh/Berakal
4.Suci dari hadats (junub), haid dan nifas
5.Dilakukan di dalam masjid
Rukun-rukun iktikaf
1.Niat
2.Berdiam di masjid
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kau beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187)
Di sini ada dua pendapat ulama wacana masjid daerah iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang dipakai untuk salat berjamaah lima waktu.
Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan salat jamaah setiap waktu.
Ulama lain mensyaratkan semoga iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai untuk menciptakan shalat Jumat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan daerah iktikafnya menuju masjid lain untuk salat Jumat.
Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi'iyah bahwa yang utama yaitu iktikaf di masjid jami', kerana Rasulullah saw iktikaf di masjid jami'. Lebih utama di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsa.
Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beriktikaf)
1. Keluar dari daerah iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap istrinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan amis badan.
3. Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, menyerupai membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang mustahil dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali sehabis menuntaskan keperluannya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama
Hal-hal yang membatalkan iktikaf
1.Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan walaupun sebentar.
2.Murtad (keluar dari agama Islam).
3.Hilangnya akal, alasannya asing atau mabuk.
4.Haid atau nifas.
5.Bersetubuh dengan istri, akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
6. Pergi salat Jumat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak dipakai untuk salat Jumat).
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri dia untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, dia masuk ke daerah khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk sanggup beri’tikaf bersama beliau, maka dia mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang tamat dari Ramadhan sampai wafatnya lalu isteri-isteri dia pun beri’tikaf sehabis kepergian beliau.”
Namun perempuan boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga perempuan yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan tepat dan juga tidak menggunakan wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama setuju bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya ialah sehari. Ulama lainnya menyampaikan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga mempunyai pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf ialah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam duduk perkara ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan.
Menurut lebih banyak didominasi ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak ialah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan menyerupai berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Demikian Tata cara, Jenis ,Syarat-Syarat , Rukun, Waktu I’tikaf dan Hal yang membatalkan I’tikaf
I'tikaf dalam konteks ibadah dalam Islam ialah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Tuhan SWT dan bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya. Orang yang sedang beriktikaf disebut juga mutakif.
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.
Hukum I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama setuju bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali kalau seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.]
Iktikaf yang disyariatkan ada dua macam: iktikaf sunat dan wajib.
Iktikaf sunnat ialah iktikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri dan mengharapkan ridha Tuhan SWT seperti; iktikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadan.
Iktikaf wajib ialah iktikaf yang dikarenakan bernazar (janji), seperti: "Kalau Tuhan SWT menyembuhkan penyakitku ini, maka saya akan beriktikaf.
Waktu iktikaf
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol ialah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang tamat dari Ramadhan sampai wafatnya lalu isteri-isteri dia pun beri’tikaf sehabis kepergian beliau.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapat malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga gampang bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu
Syarat-syarat iktikaf
Orang yang beri'tikaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.Muslim
2.Niat
3.Baligh/Berakal
4.Suci dari hadats (junub), haid dan nifas
5.Dilakukan di dalam masjid
Rukun-rukun iktikaf
1.Niat
2.Berdiam di masjid
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kau beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187)
Di sini ada dua pendapat ulama wacana masjid daerah iktikaf. Sebahagian ulama membolehkan iktikaf di setiap masjid yang dipakai untuk salat berjamaah lima waktu.
Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan salat jamaah setiap waktu.
Ulama lain mensyaratkan semoga iktikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai untuk menciptakan shalat Jumat, sehingga orang yang beriktikaf tidak perlu meninggalkan daerah iktikafnya menuju masjid lain untuk salat Jumat.
Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi'iyah bahwa yang utama yaitu iktikaf di masjid jami', kerana Rasulullah saw iktikaf di masjid jami'. Lebih utama di tiga masjid; Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsa.
Hal-hal yang diperbolehkan bagi mutakif (orang yang beriktikaf)
1. Keluar dari daerah iktikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap istrinya Sofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan amis badan.
3. Keluar untuk keperluan yang harus dipenuhi, menyerupai membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang mustahil dilakukan di masjid, tetapi ia harus segera kembali sehabis menuntaskan keperluannya .
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.
menemui tamu di masjid untuk hal-hal yang diperbolehkan dalam agama
Hal-hal yang membatalkan iktikaf
1.Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan yang dikecualikan walaupun sebentar.
2.Murtad (keluar dari agama Islam).
3.Hilangnya akal, alasannya asing atau mabuk.
4.Haid atau nifas.
5.Bersetubuh dengan istri, akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.
6. Pergi salat Jumat (bagi mereka yang membolehkan iktikaf di surau yang tidak dipakai untuk salat Jumat).
Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri dia untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, dia masuk ke daerah khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk sanggup beri’tikaf bersama beliau, maka dia mengizinkannya.”[14]
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang tamat dari Ramadhan sampai wafatnya lalu isteri-isteri dia pun beri’tikaf sehabis kepergian beliau.”
Namun perempuan boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat:
(1) Meminta izin suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga perempuan yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan tepat dan juga tidak menggunakan wewangian.
Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama setuju bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf.
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya ialah sehari. Ulama lainnya menyampaikan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga mempunyai pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf ialah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.
Yang tepat dalam duduk perkara ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan.
Menurut lebih banyak didominasi ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari. Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak ialah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan menyerupai berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Demikian Tata cara, Jenis ,Syarat-Syarat , Rukun, Waktu I’tikaf dan Hal yang membatalkan I’tikaf